Cara Generasi Muslim Mengatasi Duck Syndrome, Mewujudkan Hidup yang Bermakna
Oleh : Mufakkirot Fathinah, SE (Praktisi Pendidikan)
Fenomena duck syndrome akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan, khususnya di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Istilah ini pertama kali digunakan di Universitas Stanford untuk menggambarkan kondisi mahasiswa yang terlihat baik-baik saja di permukaan—aktif, percaya diri, dan tampak mampu mengendalikan hidup—padahal di balik layar mereka sedang berjuang keras menghadapi tekanan, kecemasan, bahkan kelelahan mental yang tidak terlihat oleh orang lain.
Apa itu duck syndrome? Duck syndrome adalah penggambaran generasi hari ini ibarat seperti seekor bebek yang mengapung dengan tenang di permukaan air, namun di bawahnya mengayuh kaki dengan cepat dan penuh tenaga agar tetap bertahan. Banyak mahasiswa hari ini mengalami kondisi serupa: berusaha menampilkan citra kehidupan yang stabil dan produktif, meskipun sebenarnya sedang berada dalam tekanan untuk memenuhi ekspektasi akademik, sosial, maupun standar kesuksesan yang dibentuk lingkungan.
Menurut penjelasan Psych Central, duck syndrome adalah kondisi saat seseorang berupaya keras menjaga citra hidup yang dianggap ideal di mata orang lain, meskipun harus menanggung beban mental yang berat. Meski tidak masuk dalam kategori gangguan mental secara medis, dampaknya terhadap kesehatan psikologis sangat serius dan dapat memicu rasa terasing, kelelahan emosional, hingga penurunan makna hidup.
Banyak dari mereka merasa tidak punya ruang untuk jujur terhadap diri sendiri. Rasa takut akan penilaian orang lain membuat mereka memilih diam dan berpura-pura kuat. Padahal, yang mengalami tekanan semacam ini bukan hanya satu atau dua orang—fenomena ini sudah menjadi pola umum di banyak lingkungan pendidikan, termasuk di Indonesia.
Fenomena yang Meluas dan Tekanan Sosial Generasi Muda
Fenomena ini tidak lagi terbatas pada lingkungan kampus di Amerika. Polanya kini terlihat di berbagai perguruan tinggi di dunia, termasuk Indonesia. Di media sosial, mahasiswa tampak enerjik, aktif dalam berbagai kegiatan, menghadiri forum, unggul dalam prestasi, dan produktif berkarya. Namun di balik citra tersebut, banyak dari mereka mengalami tekanan psikologis yang tidak terlihat: takut tertinggal, cemas menghadapi masa depan, dan merasa harus terus membuktikan diri agar diakui.
Situs Psychiatry Online mencatat bahwa duck syndrome lebih sering muncul pada lingkungan yang sangat kompetitif (high-achieving environment). Dalam kondisi ini, banyak mahasiswa enggan membicarakan masalah yang mereka hadapi karena merasa harus selalu terlihat kuat dan mampu mengendalikan keadaan. Media sosial memperkuat tekanan tersebut—ketika melihat orang lain tampil "bebas dan bahagia", mereka yang tengah berjuang diam-diam merasa tertinggal, bahkan muncul pikiran, “Apakah hanya aku yang kesulitan?”
Tekanan psikologis ini tidak hanya lahir dari dinamika individu, tetapi juga dari sistem sosial yang membentuk cara pandang generasi hari ini terhadap makna kesuksesan. Standar hidup yang diukur dari produktivitas, pencapaian, dan pengakuan publik menciptakan generasi yang secara fisik hadir, namun secara batin merasa kosong dan terasing.
Refleksi atas Gaya Hidup Modern
Pakar ekonomi IPB University, Dr. Anisa Dwi Utami, menyebut fenomena duck syndrome sebagai cerminan tekanan sosial dan ekonomi yang dialami kelas menengah, khususnya generasi produktif. Mereka didorong untuk selalu tampil stabil secara finansial, emosional, dan sosial, meskipun kenyataannya tidak sedikit yang terhimpit biaya hidup, inflasi, dan ketidakpastian karier.
Kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras dan kebutuhan harian lainnya, memaksa banyak keluarga mengalokasikan sebagian besar pendapatan hanya untuk bertahan hidup. Dalam situasi seperti ini, tuntutan agar tetap tampil “mapan dan bahagia” menjadi beban psikologis tambahan yang tidak kecil.
Penelitian Global Flourishing Study yang digagas Harvard University, Gallup, dan Baylor University, melibatkan lebih dari 200.000 responden di 22 negara menunjukkan bahwa indikator “kehidupan yang dianggap berhasil” tidak selalu berkaitan dengan tingginya pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Menariknya, Indonesia berada pada peringkat atas dalam indeks flourishing global, terutama dalam dimensi non-finansial seperti rasa makna hidup, relasi sosial, dan ketangguhan emosi. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak semata lahir dari pencapaian materi, tetapi dari sistem nilai yang mengikat manusia dengan tujuan hidup yang lebih bermakna.
Temuan ini sekaligus menjadi kritik terhadap paradigma yang hanya menilai keberhasilan berdasarkan angka pertumbuhan, daya saing, dan efisiensi ekonomi. Muncul pertanyaan penting: Apakah sistem kehidupan saat ini benar-benar dirancang untuk memanusiakan manusia, atau hanya mencetak individu yang terus berlari tanpa arah?
Mengapa Sistem Modern Saat Ini Memicu Tekanan Batin? – Telaah terhadap Paradigma Kapitalisme
Fenomena duck syndrome bukan hanya persoalan mental individu, melainkan cerminan dari sistem kehidupan yang menjadikan manusia sebagai objek persaingan tanpa batas. Sistem ini dikenal sebagai Kapitalisme, sebuah paradigma hidup yang menempatkan materi dan kebebasan individu sebagai ukuran utama kesuksesan.
Berikut beberapa karakter dasar Kapitalisme yang berdampak langsung pada lahirnya generasi yang lelah secara batin:
1. Berangkat dari Sekularisme – Memisahkan agama dari kehidupan
Kapitalisme dibangun di atas gagasan sekularisme, yakni pandangan yang memosisikan agama hanya sebagai urusan privat, bukan panduan hidup. Ketika manusia dibiarkan mengatur kehidupan berdasarkan akalnya sendiri, maka standar kebenaran dan tujuan hidup menjadi relatif. Ini melahirkan dua kerusakan sekaligus:
-
Kehidupan diatur berdasarkan kepentingan dan hawa nafsu, yang berujung pada ketidakadilan dan eksploitasi.
-
Manusia kehilangan koneksi spiritual yang menjadi sumber kekuatan batin, sehingga mudah mengalami kekosongan dan kegelisahan.
2. Kebahagiaan Didefinisikan sebagai Pemenuhan Materi
Dalam pandangan Kapitalisme, kebahagiaan identik dengan kemampuan memenuhi kebutuhan materi dan gaya hidup. Karena itu, manusia terdorong untuk terus mengejar pencapaian ekonomi tanpa henti. Akibatnya, banyak orang yang secara lahiriah terlihat sukses, namun di dalam diri merasa letih karena tidak pernah merasa cukup.
3. Kebebasan Individu Dijadikan Standar Tertinggi
Liberalisme sebagai turunan dari Kapitalisme menempatkan kebebasan berekspresi, berpikir, dan memiliki sebagai nilai yang harus dijamin. Namun tanpa batasan moral dan wahyu, kebebasan ini justru sering berujung pada benturan kepentingan, tekanan sosial, dan ketidakstabilan hubungan antarmanusia. Akhirnya, manusia hidup bersama, tetapi merasa terasing satu sama lain.
4. Standar Baik-Buruk Berdasarkan Manfaat Relatif
Dalam Kapitalisme, suatu tindakan dianggap benar selama dinilai “menguntungkan” menurut ukuran manusia. Padahal, persepsi manfaat sangat relatif—yang dianggap baik oleh satu kelompok bisa menjadi beban bagi yang lain. Inilah yang melahirkan ketimpangan dan rasa tidak adil yang sulit diatasi karena tidak ada standar kebenaran yang absolut.
5. Masyarakat Dipandang sebagai Kumpulan Individu, Bukan Kesatuan yang Saling Menopang
Kapitalisme membentuk relasi sosial yang rapuh. Selama individu dianggap cukup mengurus dirinya, maka urusan orang lain dianggap bukan tanggung jawab bersama. Pola pikir ini memunculkan generasi yang hidup berdampingan tetapi merasa sendirian.
6. Peran Negara Hanya sebagai Regulator, Bukan Pelindung
Dalam sistem ini, negara tidak bertugas langsung memastikan kesejahteraan setiap warga, melainkan hanya mengatur alur kepentingan pasar. Akibatnya, ketika masyarakat mengalami tekanan hidup atau krisis mental, negara tidak hadir secara menyeluruh untuk menyelesaikan akar masalah.
7. Ekonomi Diserahkan pada Mekanisme Pasar
Kapitalisme memberikan kebebasan kepemilikan sumber daya ekonomi tanpa batas. Hal ini membuka jalan bagi lahirnya oligarki—sekelompok kecil pemilik modal yang menguasai kekayaan, sementara sebagian besar masyarakat harus bertahan dalam persaingan yang berat.
8. Tujuan Pembangunan Tidak Menyentuh Kebutuhan Individu Secara Nyata
Pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan angka makro seperti GDP, bukan pada terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu. Karena itu, meskipun angka pertumbuhan ekonomi meningkat, ketimpangan sosial tetap melebar, dan tekanan hidup masyarakat tidak berkurang.
Islam: Paradigma Hidup yang Mengembalikan Martabat dan Ketenangan Manusia
Berbeda dengan Kapitalisme yang menempatkan materi dan kebebasan individu sebagai pusat kehidupan, Islam membangun peradaban dengan landasan ketuhanan (tauhid) yang memberi arah jelas bagi tujuan hidup manusia. Sejarah mencatat, Peradaban Islam (Khilafah) pernah bertahan hampir 14 abad dengan ciri masyarakat yang tidak hanya maju secara teknologi dan ilmu, tetapi juga stabil secara sosial dan tenang secara spiritual.
Islam sebagai ideologi tidak hanya menawarkan nilai spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang lengkap—mengatur cara manusia berpikir, merasakan, dan berinteraksi secara menyeluruh. Prinsip-prinsip Islam menjawab kegelisahan generasi hari ini dengan pendekatan yang sangat manusiawi:
1. Islam Mengukur Kemuliaan Manusia dari Takwa, Bukan Materi
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”(QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini membebaskan manusia dari tekanan standar kapitalistik—bahwa nilai diri bukan ditentukan dari capaian akademik, popularitas, atau gaji, melainkan dari ketundukan dan kejujuran hatinya kepada Allah.
2. Islam Memberi Tujuan Hidup yang Tegas dan Hakiki
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Dengan memahami tujuan ini, seorang Muslim tidak lagi berlari tanpa arah. Ia bekerja, belajar, dan berjuang bukan untuk memenuhi ekspektasi manusia, tetapi untuk menjalankan amanah hidup yang bernilai ibadah.
3. Islam Menetapkan Standar Kebaikan Berdasarkan Wahyu, Bukan Selera Manusia
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini mengajarkan ketundukan pada standar kebenaran yang tetap dan tidak berubah mengikuti tren atau tekanan sosial.
4. Islam Membangun Masyarakat dengan Ikatan Pemikiran, Perasaan, dan Aturan
Masyarakat dalam pandangan Islam bukan sekadar kumpulan individu, tetapi satu tubuh yang saling menguatkan. Karena itu, Islam menolak budaya kompetisi tanpa arah yang memecah manusia dari fitrah sosialnya.
5. Negara dalam Islam Hadir sebagai Pelayan dan Pelindung Umat
Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah laksana perisai, di mana orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.”(HR. Muslim)
Negara dalam Islam tidak bersikap netral terhadap penderitaan rakyat, tetapi aktif menyelesaikan persoalan ekonomi, sosial, dan pendidikan berdasarkan syariat.
6. Sistem Ekonomi Islam Menjamin Distribusi, Bukan Sekadar Pertumbuhan
Islam mengatur kepemilikan menjadi tiga: individu, umum, dan negara. Sumber daya vital seperti air, energi, dan kebutuhan publik tidak boleh dimonopoli individu atau korporasi. Dengan pengelolaan yang adil, kesejahteraan tidak hanya dinikmati segelintir orang, tetapi dirasakan oleh setiap individu.
7. Tujuan Akhir Sistem Islam adalah Menjamin Kesejahteraan Individu
Fokus Islam bukan sekadar angka rata-rata ekonomi, tetapi terpenuhinya kebutuhan nyata setiap orang. Tidak boleh ada satu pun individu yang terlantar, karena negara adalah penjamin langsung kesejahteraan rakyatnya.
Khotimah – Saatnya Generasi Muda Memilih Jalan yang Membebaskan
Mengganti paradigma hidup bukan sekadar slogan ideologis, tetapi kebutuhan mendesak. Fenomena duck syndrome adalah sinyal kuat bahwa banyak hati yang letih dan pikiran yang kehilangan makna. Generasi muda dibiarkan berlomba dalam standar semu tanpa arah spiritual yang jelas.
-
Menenangkan hati,
-
Memanusiakan manusia,
-
Menghapus tekanan hidup yang lahir dari standar palsu,
-
Dan menyediakan arah hidup yang utuh—dengan makna, tujuan, dan perlindungan.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thahaa: 124)


Comments
Post a Comment