Magang Berbayar: Beneran Jalan Ninja Karier?
Oleh : Mufakkirot Fathinah, SE (Praktisi Pendidikan)
Ribuan fresh graduate hari ini mengantri slot magang berbayar yang digagas negara dan korporasi. Program ini dibungkus dengan narasi “pemberdayaan anak muda”, lengkap dengan insentif gaji setara UMP. Namun, di balik jargon manis tersebut, ada realitas getir: gelar sarjana hari ini tidak lagi menjamin martabat kerja, bahkan tidak menjamin status pekerja tetap — hanya magang.
Menurut BPS 2025, ada 3,86 juta
pengangguran terbuka, dan lebih dari 1,2 juta di antaranya adalah lulusan
diploma dan sarjana. Artinya, lulusan universitas tidak sedang berkompetisi
untuk berkarya, tetapi untuk sekadar diterima sebagai pekerja magang sementara.
Kapitalisme berhasil menurunkan standar harga diri intelektual anak muda: cukup
dapat gaji dan sertifikat, status buruh kontrak pun diterima dengan bangga.
Pengangguran Struktural: Realitas
Pahit dari Ekonomi Kapitalistik
Pengangguran di negeri yang
dijuluki “tanah surga” ini bukan karena rakyat tidak produktif atau pendidikan
rakyat rendah. Masalahnya adalah kekayaan negeri ini dikurung oleh segelintir
elit ekonomi.
Menurut Credit Suisse Global
Wealth Report, 1% orang terkaya Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional.
Sementara 60% rakyat hanya menguasai 5% kekayaan. Ini berarti kapitalisme bukan
sekadar menciptakan kesenjangan, tapi secara sistemik mengunci akses kekayaan
agar tetap berada di lingkaran elit modal.
Negara pun tidak berdiri sebagai
pelindung rakyat, tetapi menjadi fasilitator investasi. Data BKPM dan EITI
Indonesia menunjukkan lebih dari 70% tambang emas, batu bara, dan nikel
dikuasai korporasi swasta dan asing. Faktanya, industri tambang mencatat laba
lebih dari Rp 200 triliun per tahun, tetapi hanya menyerap 1,3% tenaga kerja
nasional. Jadi, SDA yang harusnya membuka lapangan kerja luas justru hanya
memperkaya korporasi dengan penyerapan buruh minimal demi efisiensi keuntungan.
Beginilah cara kapitalisme
bekerja: menciptakan "cadangan buruh" agar upah bisa ditekan serendah
mungkin.
World Bank mencatat Gini Ratio
Indonesia berada di angka 0,388 – 0,42, tanda resmi bahwa distribusi kekayaan
macet. Akibatnya, generasi muda bukan diberi akses terhadap sumber produksi,
tapi hanya diberi akses terhadap lowongan kerja. Itupun statusnya magang.
Magang Berbayar: Solusi Atau
Normalisasi Eksploitasi?
Saat negara mengumumkan program
magang berbayar, 212 ribu fresh graduate langsung mendaftar hanya dalam
hitungan hari (Bloomberg Technoz, 2025). Toyota membuka slot magang dengan gaji
Rp 5 juta dan langsung diserbu pelamar. Bahkan lebih dari 1.147 perusahaan ikut
program magang nasional, dan pemerintah menargetkan 100 ribu peserta magang
hingga akhir tahun.
Pertanyaannya: mengapa lulusan
sarjana yang seharusnya siap berkarya justru disiapkan untuk menjadi pekerja
sementara tanpa kepastian status?
Jawabannya jelas: kapitalisme
tidak butuh semua rakyat bekerja tetap. Korporasi hanya butuh buruh murah yang
bisa diganti kapan saja. Program magang adalah cara baru untuk menghidupkan
industri tanpa komitmen kesejahteraan jangka panjang. Negara hanya menjadi
jembatan antara rakyat miskin dan korporasi kaya — calo tenaga kerja legal.
Islam: Sistem Yang
Mendistribusikan Harta, Bukan Sekadar Menyediakan Lowongan Kerja
Dalam Islam, negara bukan sekadar
regulator seperti dalam kapitalisme, tapi rai’in (pengurus) dan mas’ul
(penanggung jawab) atas seluruh urusan umat. Rasulullah ﷺ bersabda:
«الإِمَامُ
رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam pandangan politik ekonomi
Islam, pengurusan rakyat bukan berarti memberikan pelatihan kerja dan
sertifikat magang, tetapi memastikan rakyat memiliki akses riil terhadap sumber
penghidupan, bukan hanya akses terhadap lowongan.
Politik Ekonomi Islam Mengatur
Kepemilikan dengan Adil
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لِلْمُسْلِمِينَ
شِرْكٌ فِي ثَلَاثٍ: الْمَاءِ
وَالْكَلإِ وَالنَّارِ»
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR.
Abu Dawud)
Hadits ini secara politik-ekonomi
berarti: SDA strategis—tambang, energi, perairan, hutan,
laut—haram dimonopoli swasta atau asing. Jika negara mengelola
SDA sebagai harta milik umum, maka dana
yang dihasilkan masuk Baitul Mal,
bukan ke kantong korporasi. Dengan mekanisme ini, negara mampu membuka lapangan kerja nyata,
bukan sekadar magang bersertifikat tanpa kejelasan nasib.
Dengan pengaturan ini, di masa
Umar bin Abdul Aziz, pendapatan Baitul Mal mencapai 200 juta dinar emas per
tahun, dan pengeluaran negara tidak menyentuh angka 80 juta dinar. Artinya, ada
surplus lebih dari 120 juta dinar, atau setara 510 ton emas murni setiap tahun
— 6 kali lipat lebih besar dari total cadangan emas Indonesia hari ini yang
hanya 78 ton. Itu bukan dongeng. Itu bukan “teori ekonomi syariah” ala kampus.
Itu fakta historis yang tercatat dalam sumber-sumber klasik dan diakui bahkan
oleh para orientalis Barat.
Sementara APBN Indonesia 2025
justru defisit Rp 523 triliun, ditambal utang luar negeri berbunga — alias
diperbudak lembaga keuangan global. Khilafah pernah surplus emas. Republik ini
surplus utang. Lalu kita disuruh bangga ikut “program magang nasional”?
Politik Islam Berbasis Distribusi, Bukan Pertumbuhan
Ekonomi Semu
QS. Al-Hasyr (59): 7 menegaskan:
﴿كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾
“…agar harta itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di
antara kalian.”
Politik ekonomi Islam bukan
mengejar pertumbuhan (growth-oriented) seperti kapitalisme, tetapi memastikan
harta tidak hanya berputar pada 1% elit pemilik modal.
Negara Bukan Penyalur Tenaga Kerja, Tapi Pemberi Akses Produksi
Dalam Islam, problem mendasar pengangguran
adalah masalah distribusi kepemilikan, bukan sekadar kurangnya peluang kerja.
Negara Khilafah tidak membuka
"job fair" atau "program magang", tetapi membuka akses
tanah (iqtha’), tambang, lahan pertanian, laut, dan sumber produksi kepada
rakyat.
Khilafah tidak membiarkan rakyat
mencari sendiri pekerjaan. Dalam riwayat disebut:
عن أنس بن مالك
أن رجلاً من
الأنصار أتى النبي ﷺ
يسأله... فأعطاه فأسًا وقال:
“اذهب فاحتطب...”
“Seorang Anshar datang
meminta-minta, Nabi ﷺ
memberinya kapak dan berkata: Pergilah bekerja dengan itu...” (HR. Abu
Dawud)
Rasulullah ﷺ membagikan tanah kepada rakyat
yang membutuhkan sumber penghidupan. Ini disebut iqtha’ tamlik, kebijakan
pemberian sumber produksi langsung, bukan program pelatihan kerja seperti hari
ini. Di masa Khilafah Umar bin Khattab, kebijakan iqtha’ (pemberian tanah
produktif kepada rakyat) diterapkan luas. Catatan Diwan al-Jund
menunjukkan ribuan hektar tanah di Irak dan Syam dibagikan langsung agar rakyat
memiliki sumber nafkah.
Negara menyediakan akses lahan produktif (iqtha’) untuk keluarga/komunitas yang membutuhkan sehingga mereka bisa menjadi produsen, bukan hanya pekerja upahan. Distribusi lahan produktif meningkatkan kapasitas ekonomi rumah tangga—menciptakan lapangan kerja di sektor agro, perikanan, perkebunan dan rantai nilai lokal.
Penutup: Kapitalisme
Melahirkan Buruh Patuh, Islam Melahirkan Khalifah Pengelola Harta
Selama sistem ekonomi kapitalisme
terus dijalankan, anak muda akan terus dijejali mental “mencari lowongan”,
bukan mental pemegang kendali peradaban. Mereka akan bangga memegang kartu
magang dari korporasi, tapi lupa bahwa mereka seharusnya menjadi penguasa atas
sumber daya negeri, bukan sekadar pekerja kontrak.
Kapitalisme tidak butuh semua
orang bekerja. Yang dibutuhkan hanya cukup orang miskin agar mesin laba terus
berputar.
Islam, sebaliknya, memastikan
setiap manusia punya akses langsung terhadap sumber kehidupan — bukan akses
terhadap lamaran pekerjaan.
Maka, magang berbayar bukan
solusi. Itu hanya plester di atas luka bernama kapitalisme.
Dan Islam bukan datang untuk memperbaiki plester itu — Islam datang untuk
mengganti seluruh sistem yang menciptakan luka.


Comments
Post a Comment